Cinta saja tidak Cukup!

Cinta saja tidak Cukup! Itu selalu yang dia katakan setiap kali aku mengajaknya menikah. Dia tidak meminta syarat apa-apa. Hanya saja dia selalu berkata kalau cinta saja tidak cukup untuk mengajaknya membangun mahligai pernikahan.

Aku menyukai wanita itu sejak lama. Tapi setiap kali aku mengajaknya menikah, dia menolakku secara halus. 10 tahun lalu, ketika aku dan dia masih sama-sama bujang dan perawan, dia menolakku karena masih ingin melanjutkan sekolah dan bekerja. Lalu aku menikah dengan wanita pilihan orang tuaku. Pernikahanku gagal di tahun pertama tanpa dikaruniai anak. 3 tahun setelah resmi bercerai, aku kembali mengajaknya menikah.

Saat itu dia sedang bekerja di sebuah perusahaan sebagai manager Administrasi. Dia menolak lamaranku dengan alasan masih ingin fokus meniti karier .Lalu aku menikah lagi dengan seorang janda beranak 1. Pernikahan kali ini pun aku belum dikaruniai anak. Tapi bertahan cukup lama. 10 tahun. Pernikahan kedua inipun gagal.

Aku kembali dipertemukan dengan dia. Ternyata dia sudah berhenti bekerja dan menetap dikampung. Di kampung dia mengurus perkebunan orang tuanya. Sekali lagi, aku melamarnya. Tapi kali inipun dia menolakku dengan alasan dia masih ingin fokus mengurus kebun peninggalan orang tuanya.

Tak lama setelah itu aku menikah lagi dengan seorang wanita, janda 2 anak. Wanita ini masih muda. Usianya 10 tahun lebih muda dariku. Dia bekas istri temanku. Meskipun sudah menikah, aku masih menjalin pertemanan dengan wanita temanku itu. Selain berkebun ternyata dia juga berternak kambing dan bebek. Terkadang, sepulang dari kebun aku membawakan rumput atau daun-daunan untuk makan kambingnya. Tanpa dia minta. Sebagai bantuan sesama teman saja.

Meski banyak masalah dalam pernikahanku, aku mencoba bertahan. Aku ingin pernikahanku kali ini adalah pernikahan terakhir.

Dan dia sampai kini masih belum juga menikah. Bukan karena tak laku atau tak ada yang mau, tapi sepertinya dia selalu menolak siapa saja pria yang melamarnya. Karena penasaran dan juga ingin tahu apa alasannya, dalam suatu kesempatan aku pun mencoba bertanya padanya. Kenapa belum mau menikah padahal usia sudah beranjak tua. Dia dan aku hanya beda usia setahun. Aku lebih tua darinya.

Jawabannya sangat singkat. Belum ada yang cocok.

“Suami yang cocok untukmu yang seperti apa?” tanyaku.

“Yang seperti dirimu. Baik, pekerja keras, dan rajin ibadah.”

“Kalau seperti itu, kenapa 3 kali aku melamarmu, 3 kali sudah kau menolakku.”

“Aku tidak menolakmu. Aku hanya belum siap saja. Tapi kau tak mau menunggu kesiapanku. Sejak 5 tahun lalu aku sudah siap menikah, seandainya bertemu dengan pria yang cocok.”

“Tapi kau memnolakku lagi.”

“Aku tidak menolakmu. Aku kan pernah bertanya padamu, apa alasanmu ingin menikah denganku?”

“Karena aku menyukaimu. Aku mencintaimu.”

“Cinta saja tidak cukup, med. Aku ingin tahu apa yang kau inginkan dariku, dari pernikahan kita. Ketika kau bilang ingin punya anak, tentu saja aku berpikir panjang. Kau sudah menikah 2 kali. Kau menikah dengan janda yang sudah terbukti bisa hamil dan bisa punya anak. Tapi dipernikahan itu, kau belum juga dikaruniai anak. Lalu aku harus bagaimana?”

“Aku tidak masalah kita tidak punya anak. Setidaknya kita bisa menua bersama.”

Dia hanya menangapi peryantaanku dengan senyum tipis.

“Kalau aku bercerai, apakah kau mau menikah denganku?”

“Belum tentu!”

“kenapa belum tentu? bukankah kau bilang kau menyukai pria seperti ku?”

“Kan sudah aku bilang suka saja tidak cukup,” jawabnya.

“Apa yang kurang?”

“Pernahkan kau bertanya pada dirimu sendiri, kenapa kau begitu ingin menikah denganku?”

“Karena aku menyukaimu. Aku mencintaimu. Sejak dulu hingga kini.”

“Cinta atau obsesi?”

“Cinta.”

“Yakin?”

Aku mengangguk pasti.

“Kau tahu, kata seorang ustadzah bahwa ada 5 kriteria seorang dalam memilih wanita untuk dinikahi. Dan aku tidak memiliki salah satupun darinya. Aku tidak akan menjadi istri yang baik untukmu.”

“Aku tidak melihat alasanmu itu masuk akal. Kau tidak akan tahu apakah kau akan jadi istri yang baik atau tidak baik kalau tidak pernah mencobanya.”

Dia diam menatapku penuh selidik. “Kuberitahu kau sebuah rahasia. Sejak 5 tahun lalu, aku mulai puasa Daud. Tidak putus hingga sekarang. Sepanjang tahun, kecuali dihari-hari yang diharamkan untuk puasa. Bagaimana menurutmu? Apakah aku harus meninggalkan ibadahku itu demi seorang suami?”

Aku tak tahu harus menjawab apa.

“Tidak akan! Aku sudah melakukan ibadah itu sejak sebelum menikah. Jadi jika ada seseorang yang ingin menikah denganku, maka dia yang harus menyesuaikan hidupnya denganku.”

“Jika aku mampu dan bersedia menyesuaikan hidupku dengan ibadahmu, apakah kau mau menikah denganku?”

“Tidak,” jawabnya cepat.

“Kenapa?”

“Kau sduah menikah.”

“Kalau aku bercerai, apakah kau mau menikah denganku?” ulangku lagi.

“Belum tentu.”

“Kalau kau beri aku kepastian, aku akan menceraikan istriku dan kita menikah,” bujukku.

“Tidak! Tidak ada jaminan kau akan bahagia jika menikah denganku. Bisa saja kebahagianmu bersamanya. Nikmati saja hidupmu. Jangan ssampai karena mengharap burung terbang tinggi, punai ditangan dilepaskan.” (Ismed Hafiy)