Takdir bag 12 by Tahniat

Takdir bag 12 by Tahniat.  Jalal melangkah mendekati Jodha.  Jodha mengangkat tangannya menyuruh Jalal berhenti mendekat.  Jalal berhenti dan menunggu. Tatapannya tidak hengkang sedikitpun dari wajah Jodha terutama dari bibirnya yang terlihat sangat mengoda. Di tatap dengan penuh gairah begitu, Jodha jadi salah tingkah. Sedikit banyak dia menyesali tindakannya yang berani tadi.  Yang membuat dirinya akan segera tertimpa masalah. Tiba-tiba mata Jodha ternampak pintu yang sedari tadi tanpa di sadarinya terbuka. Dia memiringkan kepala menegaskan padangannya, dan memang pintu itu terbuka. Wajah Jodha memerah, membayangkan ada orang melihatnya berciuman dengan Jalal, alangkah malunya.

Melihat Jodha menatap kebelakangnya dengan wajah memerah, Jalal jadi ikut-ikutan menoleh.  Melihat pintu terbuka dan tatapan Jodha yang aneh, Jalal segera mengerti. Sambil tersenyum menyerigai dia berkata, “kau ingin aku menutup pintunya?” Jodha terbelalak tak percaya mendengar Jalal beranggapan seperti itu. Jalal hendak beranjak menuju pintu, Jodha berteriak, “stop Jalal!”.

Jalal menatap Jodha dengan heran, tak tahu apa yang di inginkan Jodha. Jodha menatap Jalal dengan bingung dan panik. Tiba-tiba dari pintu yang terbuka itu muncul Hamida. Dia sempat mendengar teriakan Jodha, dan dengan rasa ingin tahu dia bertanya, “apakah semua baik-baik saja? Jodha?” Melihat Hamida, Jodha membuang nafas lega. Tanpa menunggu lebih lama dia segera berlari kearah Hamida dan merangkulnya, “ami jaan..!” Melihat kelakuan Jodha, Hamida segera menduga kalau Jalal telah menyakitinya. Dengan nada mengancam hamida memperingatkan Jalal, “aku memang tidak peduli dengan apa yang kau lakukan selama ini, Jalal. Tapi kalau kau menyakiti menantuku.. kau akan berhadapan denganku.” Hamida dengan gestur melindungi menyembunyikan Jodha di belakangnya. Jalal dengan gugup menjawab, “ami jaan, kau salah paham! Aku tidak melakukan apa-apa. Aku juga tidak menyakitinya.”

Hamida melotot marah dan meragukan kata-kata Jalal, “kalau begitu kenapa Jodha harus takut padamu?”  Dari balik punggung Hamida, Jodha mengangkat dagunya sambil melebar-lebarkan bola matanya menyuruh Jalal menjawab pertanyaan Hamida.  Melihat itu Jalal sadar kalau Jodha sengaja mengerjainya. Dengan pura-pura kesal, Jalal berkata, “kenapa tidak tanyakan sendiri pada menantumu itu, ami jaan? Di ada di belakangmu.” Jodha dengan nada di buat-buat takut, “ami jaan…!” Hamida merangkul pundak Jodha dan berkata, “Jodha anakku, kalau kau tak mau pulang, kau boleh tinggal di sini sampai kapanpun kau mau.”

Mendengar kata-kata Hamdia, Jalal berteriak panik, “tidak! Dia harus pulang bersamaku!” tanpa menunggu sahutan hamida, Jalal segera melangkah, melewati Hamida dan menarik tangan Jodha dengan paksa agar mengikutinya. Jodha tidak melepaskan peganganya pada tangan Hamida. Hamida balas berteriak dengan marah, “Hentikan, Jalal! Kalau kau pikir aku akan membiarkan dirimu menyakiti dan membahayakan nyawa menantuku, kau salah besar!” Jalal tidak pernah melihat Hamida marah, ini pertama kalinya ibunya yang penyabar itu berteriak marah padanya. Semua karena Jodha. Jalal berteriak frustasi pada Jodha, “Jodha!”

Bukan niat Jodha untuk menciptakan ketegangan antara ibu dan anak. Dengan lembut Jodha berkata, “tidak apa-apa, ami jaan. Aku akan ikut dengannya. Jika dia menyakitiku atau menelantarkan aku di jalan lagi seperti semalam, aku akan datang padamu.”  Hamida dengan sangsi menatap Jalal dan Jodha bergantian, lalu katanya pada Jodha, “ya. kau harus melakukan itu. Dan percayalah nak, aku akan melindungimu sekuat tenagaku.” Jalal memutar bola matanya dan berguman lirih, seperti berkata pada dirinya sendiri, “kau  tidak perlu melakukan itu, ami jaan. Aku bahkan tidak tahu apakah aku masih bisa menyakitinya setelah apa yang terjadi.”  lalu dengan nada normal, Jalal berpamitan, “aku pulang dulu, ami jaan. Terima kasih.” Lalu dengan cepat dia berajak pergi sambil menyeret pergelangan tangan Jodha agar mengikutinya. Melihat itu Hamida tersenyum. Dia melihat secercah harapan pada Jodha. hamida berharap, Jodha bisa merubah sikap Jalal yang apatis padanya.

Sepanjang perjalanan, Jodha dan Jalal saling diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Jalal bingung dengan perasaannya sendiri. Tiba-tiba dia ingin bersikap sangat baik pada Jodha, tak ingin menyakitinya lagi.  Setiap kali dia menatap Jodha, dia terbayang kelembutan bibirnya, kehangatan nafasnya dan aroma tubuhnya. Semua kenangan itu terus bermain-main dibenaknya. Membuat dirinya ingin menciumnya lagi, ingin mencumbunya lagi.  Jalal merasa malu dengan hasratnya itu. Dia bertanya-tenya dalam hati kemana perginya benci, rasa ingin menyakiti dan hasrat untuk membuat   hidup Jodha menderita. Semua itu adalah  tujuannya utamanya  saat  menikahi Jodha. Tapi kini, semua itu seperti hilang entah kemana. Jodha telah menciptakan satu ketertarikan aneh dalam dirinya. Seperti obat psikotropika yang membuat dia kecanduan. Semakin di pikir, dia semakin menginginkan Jodha. Telpon Jalal berdering, Jalal hanya meliriknya, tidak berniat mengangkatnya. Bahkan air mukanya menyiratkan rasa terganggu oleh dering itu. Dengan kesal dia memutus panggilan itu tanpa perduli untuk menjawabnya.

Jodha melirik perbuatan Jalan dengan heran. Dia ingat saat di pesta Jalal mengatakan kalau hari ini, pagi sekali akan ada rapat penting di perusahaannya. Tapi kenapa dia malah sibuk menjemputnya dirumah Hamida, dan membawanya pulang. Bukankah sudah cukup bagi dia dengan mengetahui kalau dirinya aman di rumah hamida dan menjemputnya setelah selesai meeting. Apa tujuannya mengorbankan meeting pentingnya hanya  untuknya, apa yang ingin dibuktikannya? Jodha melirik Jalal. Saat itu jalan sedang fokus memegang kemudi dan menatap jalan di depannya.  Wajahnya tidak sekeras tadi. Dalam kondisi relax begitu, dia terlihat inocent.

Jodha tersenyum masam. Hatinya berbisik, “inocent katamu? Kau sudah gila Jodha! Seorang Jallad menampakan wajah inocent dan baik hanya saat akan memperdaya korbannya. Jadi berhati-hatilah.  Waspadalah!” Jalal tanpa aba-aba menoleh kearah Jodha. Tatapan keduanya bertemu. Jalal segera memalingkan wajah. Dan Jodha menunduk tersipu. Dlam hati Jodha bertanya-tanya, “apa yang salah dengan ku?” Jodha teringat bagaimana dia memulai ciuman itu dan mengakhirinya. Bagaimana bibir Jalal yang kenyal melumat bibirnya, menciptakan sebuah sensasi yang sangat indah yang tidak bisa di ucapkan oleh kata-kata.

Membayangkan peristiwa ciuman itu membuat Jodha mengigit bibirnya. Jalal melirik Jodha dari spion atas. Gairahnya terbangkit melihat Jodha mengigir bibitnya. Fokusnya pada kemudi terganggu. Hampir saja mobil yang dikendarainya menyerempet bamper mobil di depannya. Jalal dengan cepat menginjak pedal rem. Jalal mengucapkan sumpah serapah dengan kesal. Dan untuk mencegah hal-hal yang tidak di inginkan, sepajang sisa perjalanan, Jalal tidak berani melirik Jodha baik secara langsung ataupun melalui spion… Takdir bag 13

NEXT