Cinta yang Terkoyak (On Going)

"Aku menyusun baju bang hendra satu persatu dalam sebuah koper besar. Sebenarnya aku ingin menyusunkan dalam sebuah kardus agar lebih mudah di bawah. Toh yang akan membawanya nanti tukang ojek dan di bawa nya juga ke puncak gunung. Tapi hatiku tidak tega. Bagaimanapun, baju-baju ini adalah barang-barangnya. Menyusunnya di tempat yang layak, sama dengan aku masih menjaga perasaan nya."

Kisah sebelumnya: Prolog Cinta yang Terkoyak



Cinta yang terkoyak by MayZulaikha. Meski aku telah meminta cerai, tapi sebelum kata cerai terucap dari mulut bang Hendra, aku masih berstatus istri sahnya. Istri yang tidak punya kewajiban untuk melayani suami, karena bang Hendra sudah membebaskan aku dari tugas itu.

Sambil menyusun satu persatu baju bang Hendra, aku berpikir apa yang akan aku lakukan setelah ini. Hidupku pasti akan benar-benar terasa hampa dan kesepian tanpa Hendra. Aku terpikir untuk pergi jalan-jalan. Mungkin keJakarta atau ke Padang atau ke Malang? Ada banyak tempat yang bisa ku kunjungi kalau aku mau. Kakak-kakakku tinggal di kota-kota besar itu. Dan mereka pasti akan senang hati menyambut kedatanganku. Tapi sekali lagi, tiada tempat yang bisa membuatku merasa nyaman selain rumahku sendiri. Home sweet home…

Sedang memikirkan itu, tiba-tiba bel pintu gerbang berdering. Aku segera bangkit menuju jendela. Dan membuka korden kamar sambil melihat kebawah. Halim berdiri di gerbang sambil melambaikan tanganya padaku..

“Ada titipan dari bang Hend….” teriakanya.

“Masuklah! Buka gerendelnya…” balasku sebelum bergegas turun.

Ketika aku sampai di teras, Halim sudah duduk dibangku panjang. Dia berdiri menyambutku, tapi aku menyuruhnya duduk kembali.

“Bang Hend, menyuruhmu ambil baju ya? Aku belum selesai berkemas. Kau mau menunggu?” jelasku sekaligus bertanya.

“Bang Hend tidak bilang kalau suruh ngambil baju. Aku akan menginap di rumah mamah. Mungkin lusa baru naik lagi…” jawabnya, “ini… bang Hend menyuruhku memberikan ini pada mbak. Ini hasil penjualan kopi kemarin. Ini notanya. Ini uangnya. Bang Hend ambil sejuta untuk biaya keperluannya.”

“Kenapa hanya sejuta? Apa dia tidak perlu uang untuk menghidupi keluarganya?” tanyaku datar.

Halim tercekat. Dia menatapku dengan cemas, “mbak sudah tahu?”

Aku mengangguk tanpa ekspresi, “tahu. ..”

Halim menatapku dengan tatapan memohon, “maafkan aku, mbak….”

“Bang Hend menyuruhmu tutup mulut?”

“Iya. Bang hend meminta aku tidak memberitahumu. Dia tidak ingin kau mendengar masalah itu dari orang lain. Dia sendiri yang akan memberitahu mu. Tapi dia selalu mengulur-ulur waktu. Tapi aku sudah bilang padanya, jika mbak bertanya padaku, aku akan memberitahu. Tapi mbak tidak pernah bertanya…”

“Mungkin karena aku yakin dan percaya kalau Hendra sangat mencintai aku dan tidak mungkin melakukan hal yang akan menyakiti perasaanku..” ucapku lirih menahan sedih.

“Bang Hend sangat mencintaimu mbak. Aku bisa menjamin itu. Hanya saja, Uwak yang memaksanya agar kawin lagi. Bang Hend sudah menolak. Tapi uwak menangis-nangis bahkan sampai tidak mau makan. bang Hend tidak punya pilihan lain….”

Aku tidak percaya mendengar penjelasannya, “halah…. itu alasan Hendra aja. Dia mungkin sudah suka pada mbak Uci dari awal. Sering ketemu, sering di bonceng…..” sindirku.

“Sebenarnya, Uwak menyuruh bang Hend menikahi Kirana…”

“Hah? Kirana? Kirana yang baru lulus kuliah itu?”

“Iya. Mbak kan tahu kalau Kirana naksir bang Hendra dan suka cari-cari perhatian. Kirana itu anak nomer 12. Uwak berpikir kalau ibunya saja bisa punya anak 12, Kirana pasti bisa memberi hendra anak yang banyak juga…”

“Lalu kenapa hendra menolak? Kenapa malah memilih mbak Uci? kan Kirana lebih seger …”

“Karena bang Hendra memang tidak berniat menikahi siapapun. Bang hendra memilih mbak Uci, karena mbak Uci janda dan sudah terbukti bisa punya anak….”

Aku tertunduk mendengar penjelasan Halim. Halim seperti tersadar kalau ucapannya melukai perasaanku.

“Maafkan aku mbak. Bang Hendra tidak perduli tentang anak. Dia hanya tidak bisa menolak kemauan Uwak. Karena itu dia menolak Kirana dan memilih mbak Uci…”

“Mugkin bagi Hendra, janda lebih memikat daripada gadis..” sindir ku.

Halim tertawa.

Aku memelototinya, “apa yang lucu?”

“Kata bang Hendra sih, mbak lebih memikat dibandingkan semua wanita yang dikenalnya. Biarpun mbak judes, galak, mau menang sendiri, tapi mbak….”

“Halim! Kau sedang membicarakan aku, tahu…!” sergahku cepat.

Halim terlihat gugup dan salah tingkah, “maaf mbak, aku hanya mengulang kata-kata bang Hend.”

“Kalian sering ngomongin aku ya?” tuduhku.

“Iya. Dulu, waktu bang Hend belum menikahi Uci, aku sering tidur di gubuk bang Hend. Bang Hend sering cerita tentang mbak, apalagi kalau sedang kangen, tapi tidak bisa pulang, ” ucap Halim, “bang Hend sangat mencintaimu mbak.”

“Kalau dia sangat mencintai aku, dia tidak akan menduakan cintaku.” sahutku.

“Kan karena Uwak memaksa. Bang Hend menikahi mbak Uci pun karena mengingat kata-kata mbak. Mbak sering bilang kalau mbak benci dengan pria yang poligami dengan alasan ibadah tapi yang di nikahi perawan-perawan cantik, montok dan bohay. Kata mbak kalau mau ibadah yang di nikahi ya harus janda-janda miskin, yang punya tanggungan anak yatim. Dan bang Hend melakukan persis seperti yang mbak sering bilang. Menikah lagi dengan janda miskin yang punya 2 anak…”

“Aku tidak ingin dia menikah lagi dengan siapapun! Sudahlah, aku tak mau membicarakan itu lagi. Ini separuh uang yang kau berikan tadi. Kembalikan pada bang Hend, aku hanya mengambil separuhnya. Separuhnya untuk dia dan keluarganya…” aku menyodorkan kembali seikat uang uang yang kubagi dua.

Halim menggeleng, “bang Hend berpesan, agar tidak menerima kembali uang itu kalau mbak menolak menerimanya.”

“Aku tidak menolak. Aku sudah mengambil hak ku, dan mengembalikan yang bukan hak ku..” jelasku.

“Kalau begitu, mbak telpon dulu bang Hend, jelaskan padanya, baru aku mau menerimanya..” ucap Halim.

“Kamu sudah tidak mau mendengarkan aku lagi, Lim?” tuduhku.

“Bukan begitu, mbak. Mbak tidak tahu sih, gimana kerasnya bang Hend kalau sudah menyangkut masalah uang dan mbak.”

Aku pun penasaran dengan urusan uang itu. Jika sudah menikah selama setahun dengan Uci, bagaimana Hendra menghidupi rumah tangga mereka? Karena selama ini semua uang hasil penjualan kopi diserahkan padaku semua?

NEXT