Takdir bag 36 by Tahniat. Jodha terbelalak dengan mulut terngagah tak percaya, ““Tidak mungkin!” Jalal memicingkan matanya, “apanya yang tidak mungkin? Kau ingat ketika di KL kau terbangun sambil berteriak kaget? Kau menyebut satu nama yang aku yakin itu bukan namaku. Siapa dia? Pria yang kau cintai selain aku?” Jodha binggung, “aku tidak tahu apa maksudmu.” Jalal tersenyum masam, “jangan pura-pura Jodha. Kau tahu pasti apa yang ku maksudkan.” Jodha menggeleng, “aku tidak tahu!” Kata Jalal dengan sinis, “kau bukan hanya menuduhku berselingkuh tapi kau juga menyembunyikan sesuatu dariku. Aku telah memberi penjelasan padamu, tapi kau tidak percaya padaku. Itu urusanmu! Tapi urusan aku adalah… aku berhak tahu siapa pria itu?” Jodha sama sekali tidak tahu pria mana yang di maksud Jalal. Bagaimana Jalal bisa tahu tentang Ranvir. Jodha jadi binggung sendiri, tadinya dia yang cemburu, kini dia yang dicemburui. Serangan telah berbalik 180 derajat. Bukankah seharusnya dia yang menanyai Jalal, kenapa malah Jalal yang bertanya pada dirinya? Dasar manusia licik. Dengan memasang wajah marah camur kesal, Jodha berkata, “aku tidak tahu siapa yang kau maksud. Aku tidak pernah bermimpi tentang pria lain. Aku letih. Sebaiknya kau pergi ke kamarmu…aku ingin melanjutkan tidurku!”
Jalal menyerigai sinis, “kau ingin melarikan diri dari masalah? Kau yang lebih dulu mengungkit masalah ini. Aku tidak akan pergi sebelum kau memberiku jawaban yang memuaskan. Aku rela berdiri menunggu sampai pagi… kalau kau ingin tahu.” Jodha tahu betapa keras kepalanya makhluk yang ada di depannya itu. Jodha berusaha berpikir keras, kembali ke malam-malam yang di laluinya di KL. Tiba-tiba dia teringat pada mimpinya yang paling mengerikan. Mimpi di mana dia melihat seorang pria menusuk dada Jalal dengan sebilah pedang dan dia… Tanpa sadar Jodha berguman, “Shenshah…”
Jalal mendengar gumanan itu dan menatap Jodha dengan rasa penasaran, “kau sudah ingat? Siapa dia? Yang kau sebut namanya dengan mesra?” Mengingat mimpi itu, Jodha bergidik ngeri. Rasa kehilangan yang di rasakannya di dalam mimpi itu, di rasakannya lagi saat ini. Jodha menatap Jalal dengan perasaan campur aduk. Ada takut, sedih, marah dan juga bahagia. Tanpa mengalihkan tatapannya dari wajah Jalal, Jodha menghampirinya. Setelah dekat, dengan lembut dia menyentuh wajah Jalal, mengelus pipinya dengan penuh kasih sayang dan sinar matanya…menyiratkan rasa takut kehilangan. Jalal heran di buatnya, tapi dia tidak bereaksi. Dia hanya berdiri menunggu sambil menatap Jodha dengan rasa ingin tahu. Tiba-tiba Jodha memeluk jalal dan menangis di bahunya. Jalal mau tak mau balas memeluk Jodha dan mencoba menenangkannya. Ada sedikit rasa bersalah menjalari sanubari Jalal. Dia tidak menyangka kalau akan begini akhirnya. Kata Jalal, “Jodha..ada apa? Maafkan aku…aku tak bermaksud menyakitimu.” Mendengar kata-kata Jalal, tangis Jodha semakin keras. Jalal mendekapnya erat.
Setelah isak tangis Jodha sudah agak reda, Jalal melepas dekapannya. Dia menatap Jodha dan menangkupkan kedua tangannya di pipi basah Jodha sambil berkata penuh rasa sesal, “maafkan aku. Aku tidak perduli siapa lelaki itu…kau tak perlu mengatakannya padaku kalau kau tidak mau. Please… jangan menangis! Maafkan aku!” Jodha menggeleng, dia menyentuh pergelangan tangan Jalal sambil berkata, “aku akan katakan siapa lelaki itu..” Air muka Jalal menjadi tegang. Jodha menarik tangan Jalal dan memintanya duduk di tepi ranjang, sementara dia sendiri duduk disampingnya. Keduanya saling berhadapan.
Jodha menggenggam tangan Jalal, masih dengan mata berkaca-kaca dan pipi basah, Jodha berkata, “Shenshah…. Aku memanggil pria itu dengan panggilan itu. Aku merasa sangat..sangat mencintainya. Sedih rasanya melihat dia terkapar tak berdaya. Ketika dia merenggang nyawa, seolah-olah nyawaku turut terenggut bersamanya. Jiwaku terasa hampa…” Jodha memejamkan mata dan menghela nafas coba menenangkan rasa sedih yang tiba-tiba muncul saat teringat mimpinya. Lalu dengan lembut dan penuh cinta dia menatap Jalal, “pria itu adalah…dirimu. Aku memimpikanmu. Dalam mimpiku aku memanggilmu ..Shenshah..”
Jalal menatap Jodha tepat di matanya. Dia melihat kejujuran di sana. Jalal tanpa sadar berguman, “shenshah…” Lalu katanya pada Joda sambil menyentuh pipihnya, “aku seperti pernah mendengar panggilan itu….tapi aku tidak tahu di mana. Aku hanya ingat kau yang menyebutnya ketika kau terbangun dari mimpi. Kenapa kau memanggilku shenshah?” Jodha menggeleng. Air mata kembali menetes. Melihat itu, Jalal segera meraih Jodha dan memeluk nya, “shhhh… sudahlah… tau usah di pikirkan. Aku percaya padamu. Maafkan aku. Aku tidak akan bertanya lagi.”
Malam sudah semakin larut. Jalal melepas pelukannya dan berdiri. Jodha memegang tangannya, “kau mau kemana?” Jalal menjawab, “sudah larut malam, tidurlah. Aku akan pergi ke kamarku.” Jodha menggeleng, “jangan pergi. Maukah kau tidur di sini bersamaku?” Jalal menatap Jodha tak percaya. Beberapa saat lalu dia mengusirnya, sekarang memintanya untuk tinggal. Jalal membantin, “wanita sungguh tidak bisa di duga.” Jodha menunggu sahutan Jalal dengan penuh harap. Sambil tersenyum Jalal mengangguk. Setelah mematikan lampu utama dan menggantinya dengan lampu tidur yang tidak seberapa terang, Jalal membantu Jodha berbaring. Dia sendiri kemudian berbaring di samping Jodha dan tertidur sambil memeluknya.
Keesokan harinya, Jalal pergi ke kantor seorang diri. Jodha tinggal di rumah. Tak lama setelah Jalal pergi, Benazir datang. Sebagai tuan rumah yang baik, Jodha menyambutnya dan memberitahu dia kalau Jalal tidak ada di rumah. Tapi Benazir dengan arogannya berkata kalau dia tidak ingin bertemu Jalal, tapi ingin bertemu Jodha. Jodha menyuruhnya duduk dan menanyakan apa keperluannya. Benazir menolak untuk duduk. Dia bilang dia hanya sebentar, hanya ingin memberitahu Jodha tentang satu hal. Melihat air muka Benazir, Jodha jadi was-was.
Benazir tersenyum sinis dan berkata……… Takdir bag 37