Senja di bawah Kamboja Merah by Meysha Lestari (On Going)

Senja di bawah Kamboja merah by Meysha Lestari. Langkah kakiku perlahan memasuki areal peristirahatan dimana sehabatku terkasih memiliki sekapling rumah masa depan yang telah di huninya sejak 4 tahun lalu. Dia tidak mengajakku bersama. Hanya meninggalkan kenangan bahagia masa remaja. Dan kini, untuk pertama kalinya aku akan mengunjunginya. Membawakannya setangkai sedap malam yang dulu sekali pernah di pesannya. Saat dia masih bisa bicara, tertawa, bercanda dan marah-marah.

Suzana Suparman. Suzana adalah namanya dan Suparman adalah nama bapaknya. Namun aku selalu memanggilnya dengan sebutan Suzy Superman. Jika sudah begitu, dia akan menatapku lama, bukan marah hanya sedang menata kalimat saja, lalu dengan penuh percaya diri dia akan berkata, “jika saja aku ini adalah anak Superman, Maya. Maka aku dengan senang hati aku menjadikan engkau sebagai Lana Lang nya. Bukan sebagai kekasih, tapi sahabat sejati. Akan kubawa engkau ke puncak gunung Tanggamus yang megah itu dan meninggalkannya disana.”

Baca Juga:

Muahahaha….dalam khayalannya saja dia  berniat jahat. Namun pada kenyataanya dia sangat baik dan perhatian padaku. Menyayangiku.. sebesar sayang ku padanya. Kekasihnya merata, namun tetap aku yang menjadi prioritasnya. Tidak salah kalau para lelaki muda, kaya dan tampan yang dipacarinya selalu menaruh cemburu padaku. Bahkan tidak jarang mereka menuduh kami lesbian. Biasa….kalau pacaran di puja, sudah putus gosipkan saja!. Anehnya lagi, Suzana tidak pernah berusaha menempis gosip-gosip itu. Malah semakin menunjukan kemesraannya padaku di depan mantan pacar-pacarnya yang seringkali membuatku gerah dan membuat Rio geleng-geleng kepala.

Rio. Rio Febrian. Pelukis tampan pemuja kecantikan. Beberapa kali Suzy sempat menjadi modelnya. Karya lukisnya yang menurutku biasa-biasa saja tenyata mendapat sambutan  dari seantero dunia. Buktinya, beberapa bulan yang lalu aku terbaca dalam surat kabar kalau dia sedang mengadakan pameran tunggal di Madrid, Spanyol.

Rio sahabat baik Suzy, namun dianya adalah musuh bebuyutanku. Aku dan Rio tidak bisa berada di tempat yang sama tanpa saling melempar kata dan mencela. Aku sendiri heran, kenapa cowok satu itu begitu antipati padaku. Padahal aku tidak pernah mengusiknya. Kalau menurut Suzy, aku yang terlalu berlebihan menunjukan rasa tidak suka padanya. Kalau menurutku, Rio yang selalu saja pandai membuatku terasa. Persahabatan ini bagai sebuah segitiga yang salah satu ujungnya tidak menyatu. Menggantung di awan dan meliuk-liuk di terpa angin selatan.

Terkadang kala bersendirian aku mengintropeksi diri dan bertanya dalam hati, “kenapa aku tidak pernah akur dengan Rio?” namun selalu tak ada jawabannya. Sepertinya memang tidak ada masalah, hanya kebetulan saja selalu berjumpa dalam situasi yang salah.

Eh…kok jadi melantur, tujuanku ke sini kan untuk menyapa dan mendoakan dia yang tidur dalam damai di bawah sana. Mengharap suatu saat akan bisa bersama lagi dalam suasana yang indah berhiaskan lembanyung senja di bawah pohon kemuning cinta.

Langkah kakiku berhenti tepat di depan sebuah pusara yang terbentuk rapi. Tidak dikeramik apalagi di cungkup. Rumputnya tertata indah. Tiada satupun ilalang liar yang berani tumbuh diatasnya. Mungkin segan karena ke eleganannya. Langit sebagai atapnya dan Kamboja Merah yang sedang berbunga menaunginya. Di atas nisannya tertera sebuah nama, ‘Suzana binti Suparman’.

Tiba-tiba lututku terasa lemas tak bertenaga. Aku jatuh bersimpuh. Rasa haru menyelimuti hatiku. “Akhirnya…..”.

Lama aku terpengkur tak tahu harus berbuat apa. Terpana, takjub dan setengah tidak percaya. Benarkah Suzy ku yang terbaring dibawah sana? Dalam dekapan tanah basah, di temani cacing-cacing tanah dan mahkluk-mahkluk melata lainnya. Tiba-tiba aku merasa iri pada mereka semua. Sungguh tidak kaprah. Mencemburui cacing tanah??? Hah… seperti tidak berotak saja. Tapi itulah kenyataannya. Banyangan itu terbesit juga dalam dada. Sahabatku terkasih bercengkerama dengan cacing tanah di bawah sana. Membiarkan aku terpengkur dan bersimpuh diatas pusaranya. Menyesali diri karena tiada di sisi di saat terakhirnya.

Oh Suzy….. andai ada sedikit keberanian di hatiku untuk melihat penderitaanmu, pasti aku akan berada di sisimu saat itu. Kelemahanku membawa langkah ini jauh. Meninggalkanmu tepat disaat engkau membutuhkan aku. Kawan seperti apakah diriku ini? “Maafkan aku…! Maafkan aku..!”

“Sudah di maafkan!” suara di belakangku membuatku terlonjak. Dengan dada berdebar tak menentu ku menatap si empunya suara. Jantungku semakin berdegup kencang mengetahui siapa yang berdiri disana. Bermimpikah aku?? Tuhan.., diakah yang berdiri didepanku? Rasa ingin menghambur dan memeluknya. Sayangnya otak ku masih bisa berpikir normal dan mencegahku berbuat hal yang tidak sepatutnya. Mengapa dia muncul didepanku? Bukankah seharusnya…. ! Tanpa sadar aku melirik pusara di sampingku.

“Merindu?” tanyanya dengan senyum mengoda…. bersambung

Next:  Seperti Bulan dan Matahari