Takdir bag 14 by Tahniat. Sepanjang perjalanan ke kantor, Jalal benar-benar tidak bisa berkonsentrasi. Di hadapan Jodha dia bisa memasang wajah datar seperti tidak terjadi apa-apa. Tapi begitu di dalam mobil, dia tidak bisa lagi mengontrol perasaannya dan emosinya. Beberapa kali dia terpaksa minggir ke bahu jalan, untuk menenangkan perasaanya dan meredam hasratnya. Bayangan tubuh polos Jodha terus bermain-main di pelupuk matanya dan di benaknya. Di sudut hatinya ada sedikit rasa sesal karena membiarkan keberuntungan itu berlalu begitu saja di depannya. Jalal berpikir, jika saja tadi dia bertindak cepat, dia pasti bisa mendapatkan Jodha. Menikmati kemolekan tubuhnya, mencumbunya, memasukinya…dan…”arggghhh….”
Jalal menggerang dengan putus asa. Tapi kisi hatinya yang lain memujinya dan melarangnya melakukan hal seperti itu., “ingatlah… tujuanmu menikahinya! kau marah ketika dia menamparmu dan mengatakan kau pria tidak bermoral. Apakah kau ingin membuktikan kalau dirimu memang benar-benar pria tidak bermoral? Karena hanya pria tidak bermoral yang memaksa kan dirinya dan menyentuh wanita di luar kehendaknya! Dan kau bukan pria tidak bermoral. Atau apakah kau memang pria tidak bermoral? Pria tidak bermoral…!!” Kata-kata ‘pria tidak bermoral’ terus menerus terngiang di telinganya. Perlahan tapi pasti kata-kata itu menunjukan efeknya. Jalal mulai bisa menguasai diri, nafsunya mulai meredah. Tapi ketika dia teringat Jodha lagi, semua peristiwa yang terjadi di depan matanya tadi berputar lagi di benaknya seperti sebuah video yang di putar ulang.
Jalal tiba di depan kantor Singhania Co.,Ltd. Jalal bergegas turun dari mobil dan melemparkan kunci pada petugas parkir dengan terburu-buru sambil mengangkat tangan meminta maaf. Lalu tanpa membuang waktu lagi dia berlari kearah Rahul yang berdiri di depan pintu dengan gusar dan panik. Rahul berkata, “kau tahu, aku hampir saja menelepon Polisi untuk menemukan dirimu. Kau berangkat dari rumah 45 menit yang lalu, di telpon tidak di angkat. Kau membuatku khawatir. Apa yang membuatmu terlambat 20 menit?” Jalal tidak menyahut. Dia hanya mengendikan bahu. Jarak dari rumah kekantornya hanya perlu 25 menit saja. Dan 20 menit yang membuatnya terlambat tadi adalah karena dia membayangkan Jodha. Teringat pada tubuh polosnya dan…. Jalal menepuk jidatnya dengan keras, ketika bayangan itu kembali muncul.
Melihat itu Rahul menjadi heran, “ada apa jalal? kau telihat gelisah sekali!” Bukan Jalal kalau tidak mengeles dengan baik dan benar, “tidak ada apa-apa. Aku hanya memikirkan tanggapan para investor yang sedang menungguku. Menurutmu, mereka akan mentolerir keterlambatanku?” Rahul menggeleng, “aku tidak tahu, tapi sampai saat ini, sepertinya mereka masih terlihat tenang dan tidak gusar. Setiap kali mereka bertanya , aku katakan kalau kau sedang mengurus proyek besar yang memberi kita keuntungan 3 kali lipat. Dan mereka sepertinya percaya.” Jalal tersenyum bangga, “itu karena reputasiku yang bersih.”
Jalal memasuki ruang meeting dengan wajah cerah dan senyum lebar yang memikat. Para investor berdiri menyambutnya. Dengan penuh percaya diri Jalal berkat, “maaf karena harus membuat Anda semua menunggu. Aku baru saja menandatangani sebentuk kerja sama, yang….. tidak bisa aku katakan detailnya… tapi kerja sama itu membuatku bahagia. Aku tidak mau mengatakannya karena aku tidak ingin mempengarui keputusan kalian untuk berinvestasi di perusahaan kami. Kalian semua pasti telah membaca profil perusahaan dan sebagainya….” Jalal dengan gaya yang lugas, cerdas, dan dengan wawasan luas yang dimilikinya mulai mempresentasikan perusahaanya di hadapan para investor luar yang berminat menanamkan modal di India melalui Singhania Co.Ltd. Di akhir meeting, mereka semua merasa kalau penantian mereka memadai.
Melihat kesuksesan yang mereka raih, Jalal dan Rahul berpelukan. Jalal melirik AUDEMARS PIGUET yang melingkar di pergelangan tanganya. Sudah pukul 4 lewat 30 menit. Jalal keluar dari ruang meeting menuju ke kantornya yang terletak di lantai 8. Gedung kantor Singhania Co.,Ltd hanya terdiri dari 8 lantai tapi memiliki luas cukup besar, yaitu sekitar 20.000 m2. Yang terdiri dari tempat parkir di basement, ruang kantor dari berbagai divisi yang berderet rapi di lantai 6 dan 7, ruang meeting dan akomodasi di lantai 5 dan 4. Laboratorium dan Perpustakaan di lantai 3. Cafetaria dan Gym di lantai 2, sedangkan lantai satu adalah lobby, resepsionis dan berbagai pusat retail untuk memenuhi kebutuhan karyawan dan tamu yang berkunjung ke kantor Singhania. Jalal sebagai pribadi mungkin terlihat sederhana, tapi pemikirannya sangat rumit dan berbelit-belit. Sebagai pemimpin dia adalah pemimpin yang berdedikasi tinggi dan sangat memperhatikan kesejahteraan karyawannya. Sehingga karyawan bukan hanya segan tapi juga menghormatinya.
Jalal duduk di meja kerjanya yang mewah dan klasik. Begitu duduk, dia langsung mulai membaca laporan yang masuk dan menanda tangani surat-surat penting yang butuh pengesahan darinya. Jalal bukan tipe orang yang percaya dengan kata-kata orang lain dan mau menurunkan tanda tangan tanpa membaca terlebih dahulu apa yang akan di tandatanganinya. Rutinitasnya itu menyita sebagian besar waktu Jalal. Setelah hampir sebagian surat-surat di meja telah di baca dan di tanda tangani, Jalal menggelus pinggangya letih.
Dia duduk menyandar dengan relax di kursinya. Tiba-tiba matanya terlihat foto perkawinannya dengan Jodha. Saat itu dia sedang memasang sindoor di belahan rambut Jodha. Wajahnya tidak terlihat, tapi wajah cantik Jodha terpampang dengan jelas. Jalal meraih foto itu dan mengamatinya dari dekat. Dia menatap Jodha. Ada getaran aneh merambati hatinya. Jalal tidak yakin dengan apa yang di rasakannya. Yang jelas rasa itu tidak sama dengan rasa yang membuatnya memutuskan menikahi Jodha. Jalal menelusuri foto wajah Jodha dengan jari tanganya dengan lembut, seakan-akan dia sedang menyentuh wajah Jodha yang sebenarnya.
Di rumah, Jodha sedang duduk di ruang samping yang mempunyai dinding kaca sangat tinggi dan transparan. Dari tempatnya duduk dia bisa melihat taman bunga yang asri dengan berbagai warna dan jenis bunga yang saat itu sedang mekar. Jodha berdiri mendekati dinding kaca, dan mengintip keluar. Hatinya terasa sunyi, di rumah besar ini dia hanya sendirian. Setelah semua pekerjaan rumah selesai dikerjakan, dia tidak tahu harus melakukan apa. Jodha menatap sekeliling ruangan di mana kini dia berada. Dari tatanan interiornya, Jodha bisa menebak kalau arsiteknya pasti seorang yang romatis dan terbuka. Dalam hati Jodha menyayangkan, karena rumah seasri ini di huni oleh seseorang seperti Jalal yang kejam, tidak berperasaan, dan tidak bermoral.
Mengingat Jalal, Jodha jadi teringat insiden di kamarnya tadi pagi. Wajah Jodha kembali bersemu merah. Rasa malu kembali menghinggapinya. Jodha memejamkan mata, dan dengan susah payah mencoba membuang bayangan itu. Tiba-tiba, hp yang di letakannya di meja berbunyi, Jodha segera mengambilnya dan membaca nama yang tertera di sana. JALAL. Jodha merasa enggan berbicara dengannya. Di biarkan hp itu berdering sangat lama. Sehingga akhirnya mati sendiri. Tiga kali Jalal memghubunginya, dan tiga kali pula Jodha mengabaikannya tanpa rasa bersalah. Jodha merasa dia tak punya kepentingan apa-apa untuk bicara dengan Jalal. Jadi tak ada gunanya menerima panggilan itu tanpa dia tahu perbuatanya itu menyebabkan Jalal panik.
Begitu telponya yang ketiga tidak di angkat, Jalal segera melesat keluar dari kantornya. Teriakan Rahul yang memanggil namanya tidak di gubrisnya. Jalal hanya memikirkan satu hal, Jodha. Hatinya cemas dan takut, kenapa Jodha tidak menjawab telponya. Apakah sesuatu terjadi pada Jodha? Dengan kecepatan luar biasa, Jalal mengendarai Audinya. Tidak sampai 15 menit dia tiba di depan rumahnya. Dia menerobos pintu gerbang. Memencet tombol kunci digital dan berlari masuk kedalam rumah. Tujuan Jalal hanya satu. Kamar Jodha. Dia pasti ada di sana. Tanpa melihat kiri kanan, Jalal segera berlari menaiki tangga. Jodha yang saat itu berdiri di depan meja dapur terheran-heran melihat Jalal berkelebat sebegitu rupa. Tapi dia tidak mencoba menyapanya.
Satu anak tangga lagi, Jalal akan sampai di lantai, atas. Tapi mendadak dia berhenti. Dia merasa kalau ekor matanya ternampak satu sosok berdiri di dapur. Jalal mundur satu langkah kebawah, memiringkan kepalanya dan menoleh kearah Jodha. Saat itu Jodha sedang menatap kearahnya. Melihat Jodha, wajah Jalal menjadi merah padam, matanya melotot menakutan dan rahangnya mengeras. Secepat kilat Jalal menuruni tangga dan melangkah kearah Jodha. Melihat raut wajah Jalal yang begitu rupa, Jodha segera menangkap alarm tanda bahaya. Ketika Jalal memutari meja dan mengarah padanya, Jodha refleks melangkah memutari meja menjauhinya. Sehingga antara mereka berdua ada meja dapur besar yang menjadi penghalang.
Melihat itu Jalal menghentikan langkahnya dan menatap Jodha dengan geram. Jalal melangkah memutari meja lagi ingin mencapai Jodha, Jodha juga bergerak mengitari meja menjauhi Jalal. Sehingga jika kejar-kejaran itu berlanjut, dapat di pastikan kalau Jalal tidak mungkin bisa mendekati Jodha kecuali dia mengambil jalan pintas dengan naik keatas meja dapur. Jalal sepertinya terpikir hendak melakukan itu. Seperti menduga apa yang akan dilakukan Jalal, Jodha segera berlari kearah tangga dengan wajah ketakutan. Jodha baru menyadari kalau keputusan yang diambilnya adalah sebuah kesalahan yang sangat besar, setelah Jalal berhasil menyergap tubuhnya dan mendorongnya dengan kasar hingga dia terjatuh di lantai. Jodha mengerang kesakitan saat sikunya terantuk lantai. Jalal mendekati Jodha, Jodha menyeret tubuhnya menjauhi Jalal. Jalal segera berjongkok dan mencekal pergelangan kaki Jodha, membuatnya terpaku di lantai tanpa bisa berbuat apa-apa. Jodha berteriak ketakutan. Jalal meyerigai…. Takdir bag 15