Malam Pertama: Arti Mencinta!

Malam pertama : Arti Mencinta! Jodha telah kembali ke Agra dengan kemauannya sendiri karena dia ingin bersama Jalal. Karena kebaikan yang di lakukannya pada Shivani dan Tej atau pada para penganut agama hindu dengan menghapus pajak ziarah telah memenangi hati Jodha.  Jodha tak lagi  merasa malu karena menikahi pria kejam dan tidak berperasaan. Kini dia dengan terang-terangan mengakui kalau dia mencintai Jalal…. tepat di depan jalal. Lalu Jalal bertanya, “kalau ada cinta kenapa ada jarak?” Ketika Jalal maju mendekatinya, Jodha mundur menjauhinya. Ketika Jalal mendekatkan tubuhnya, Jodha menahannya dengan mendorong dada Jalal. Dalam hati Jodha mencintai Jalal dan ingin bersamanya. Tapi pikirannya menolak. Jalal bukan hanya suaminya, tapi suami dari banyak wanita. Jodha belum bisa menerima kenyataan itu.

Melihat Jodha menghindar dan menolak dirinya, dengan lembut Jalal bertanya, “kalau kau mencintaiku kenapa kau menghindar dariku?”  Jodha menunduk, menyembunyikan wajahnya yang memerah. Jalal menyentuh dagu Jodha hingga wajahnya terangkat. Tapi Jodha membuang muka kesamping, tak mau menatap Jalal.  Jalal mencium pipi Jodha dan berbisik di telinganya, “aku menginginkanmu, Ratu Jodha.” Jodha hendak menjauhkan dirinya dari Jalal, tapi dengan cekatan Jalal menarik dupattanya. Jodha dengan suara bergetar berkata, “lepaskan dupattaku, shahenshah.”

Bukanya melepaskan, Jalal malah menarik dupatta Jodha membuat Jodha mau tak mau tertarik kearah Jalal. Jalal merengkuh tubuh Jodha dan berbisik, “akan ku lepaskan, setelah kau katakan kenapa kau menghindar dariku.” Jodha tanpa berani menatap jalal berkata kalau dirinya belum siap menerima Jalal. Meski ada kilat kekecewaan di matanya, tapi Jalal memaksakan diri tersenyum. Jalal memegang kedua pipi Jodha dan menghadapkan wajah Jodha lurus kearahnya sehingga mau tak mau Jodha terpaksa menatap Jalal.  Sambil tersenyum, dia menyentuhkan ujung hidungnya ke ujung hidung Jodha dan berkata, “aku akan menunggu, sampai kau siap menerimaku!”

Mendengar kata-kata Jalal, Jodha merasa terharu. Ada sebersit rasa bersalah menjalari perasaannya. Karena dia sendiri tak tahu kapan dia siap untuk Jalal. Dia ingin, dia mau, tapi dia tak mampu. Bayangan Jalal bercumbu dengan para istrinya selalalu saja muncul setiap kali dia mencoba untuk memasrahkan diri padanya. Karena itu meski telah sebulan bersama, telah saling mengerti dan memahami, tapi Jodha selalu menahan diri untuk tidak terlalu dekat pada Jalal. Karena dia tak ingin Jalal kecewa.

Tapi malam ini, ini pertama kalinya mereka berdua menjadi begitu dekat, pertama kalinya Jalal berkata kalau dia menginginkan Jodha. Dan Jodha merasa bersalah karena tak mampu memberikan apa yang di inginkan Jalal. Dan lebih merasa bersalah lagi, karena Jalal tidak menuntut tapi malah memberi kesempatan. Jodha semakin respek pada Jalal. Kebencian di hatinya telah hilang 100%. Sekarang hanya ada cinta di hatinya untuk Jalal, dan keinginan untuk membuatnya bahagia apapun caranya.

Malam ini, mereka berdua menghabiskan waktu dengan mengobrol. Dan ketika malam sudah sampai pada puncaknya, jalal pamitan untuk kembali ke kamarnya. Jodha sebenarnya ingin menahan Jalal dan memintanya untuk menginap di kamarnya. Untung dia sadar dengan batas kemampuannya sendiri, karena itu dia biarkan Jalal pergi.  Jalal sendiri sebenarnya berharap Jodha akan mencegahnya, dan menyuruhnya mengginap. Tapi sekali lagi dia harus kecewa.

Sebelum pergi, Jalal sekali lagi menatap Jodha sambil berpikir, “dulu saat kau membenciku, kau mau berbagi ranjang denganku, meski dengan penuh ketakutan dan kecurigaan. Kini setelah kau katakan kau mencintaiku, kenapa tak kau biarkan aku tidur bersamamu, ratu Jodha?”

Keesokan paginya, Jodha sedang berdiri di tepi jendela ketika Moti datang. Jodha pura-pura cemberut melihat Moti den menegurnya, “Kau kesiangan Moti, apa kau lupa kalau aku harus melakukan puja?”  Moti melirik kearah tempat tidur Jodha dengan tatapan mengoda, “maaf Jodha, kukira yang mulia menginap di sini.” Jodha dengan perasaan bersalah berkata, “tidak Moti, yang mulia tidak akan pernah menginap di sini. Dan lagi untuk apa dia menginap, kamarnya hanya beberapa langkah dari sini. Ayo… siapkan mandiku.”

Selesai mandi, Jodha melakukan Tulsi Puja. Setelah selesai, Jodha menghapiri Jalal yang sedang berlatih pedang. Jodha meminta Jalal mengambil Arti. Jalal memberikan pedangnya pada pengawal, mencuci  tangan dan membilas wajanya, lalu melakukan arti.  Setelah melakukan arti, jalal menerima prasad dan memakannya. Jodha tersenyum dan hendak melangkah pergi, tapi Jalal menahannya dengan bertanya, “apakah nyenyak tidurmu semalam, Ratu Jodha?” Jodha tersenyum dan menyahut, “ya, Yang Mulia. Sangat nyenyak hingga aku bangun kesiangan.”  Jalal menatap Jodha dengan mata memicing, “syukurlah kalau begitu, berarti hanya aku sendiri yang semalaman tidak bisa tidur.”

Jodha dengan mata terbelalak indah bertanya, “kau tidak bisa tidur? Kenapa shahenshah?” Jalal mendekati Jodha, dan mencondongkan tubuhnya kearah Jodha, andai saja tidak ada nampan arti di depan jodha, tubuh mereka pasti sudah bersentuhan.  Jalal berbisik mesra di depan wajah Jodha, “bagaimana aku bisa tidur, ratu Jodha. Bayanganmu berlarian di kelopak mataku.” Jodha tersipu mendengarnya. Jalal geregetan melihat pipi Jodha yang memerah, dia ingin menciumnya.

Tapi Jodha refleks mundur kebelakang sambil protes, ” shahenshah, ..ada prajurit!” Jalal seperti tersadar, segera menarik tubuhnya. Sambil tersenyum nakal dia berkata lirih, “aku tahu tempat yang tidak ada prajuritnya. Maukah kau ikut denganku?” Jodha menggeleng, “tidak. Aku harus membagikan arti dan prasad. Aku pergi dulu yang mulia. Pranam.” Jalal tertawa. Tanpa menunggu jawaban Jalal Jodha segera berlalu pergi di ikuti tatapan nakal Jalal. Dalam hati jalal berkata, “aku ingin tahu sampai kapan kau akan menghindar dari ku, ratu Jodha.”

Malam belum terlalu larut ketika jalal selesai mengadakan pertemuan dengan Atgah khan. Untuk kekamarnya, Jalal akan melewati kamar Jodha.  DI depan pintu kamar Jodha, Jalal berhenti dan mengintip kedalam. Suasana sangat sepi. Jalal penasaran. Dia mencopot sepatunya dan melangkah masuk. jalal menatap sekeliling ruangan mencari Jodha. Dia tidak melihat sosoknya ataupun suaranya. Jalal masuk lebih kedalam dan berdiri di depan ranjang. Menatap ranjang yang masih rapi itu, Jalal tersenyum tipis.

Jalal membalikan badan hendak keluar ketika sudut matanya menangkap sosok Jodha sedang berdiri menyandarkan kepala di tepi jendela.  Jalal dengan langkah pelan tanpa suara mendekat. Jodha melamun dengan tangan bersendekap di dada dan tatapan terpaku pada bulatan perak yang mengantung di langit dengan indahnya. Bulan purnama telah menyita perhatiannya. Wajah Jodha terlihat begitu tenang dan damai. Kulitnya yang lembut dan putih mulus berkilauan ditimpa cahaya rembulan. Membuat jalal gemas. Tanpa ragu-ragu, Jalal segera mencium pipi Jodha dan memeluk tubuhnya dari samping.

Jodha tersentak kaget. Tapi dia tak berontak di peluk Jalal begitu rupa. Hanya saja tubuhnya menegang dan wajahnya bersemu merah. Dengan lembut dia bertanya, “yang mulia, kau di sini?” Jalal menyahut, “ya, Jodha Begum. Seharian aku tak melihatmu, rasanya seperti setahun. Ada banyak persoalan yang harus ku diskusikan denganAtgah.” Jalal membelai pipi Jodha dan menatapnya lembut, lalu berbisik, “apakah kau sudah siap menerima ku?”  Jodha menatap Jalal dengan jengah. Walaupun hanya sesaat, Jodha melihat ada sebersit rasa harap terpancar di sana. Jodha tak tahu harus menjawab apa. Dia tertunduk penuh sesal. Jalal dengan penuh pengertian mengelus rambutnya dan mencium keningnya, “tak apa. Aku akan menunggu!”

Hampir setiap malam, sebelum tidur, Jalal mengunjungi Jodha, menyentuhnya dan menanyakan pertanyaan serupa, “apakah kau sudah siap menerimaku?” Ketika Jodha merasa terganggu dengan pertanyaan itu dan balik bertanya padanya. Dengan senyum mengoda, Jalal menjawab, “karena aku tak ingin melewatkan satu menitpun untuk menerima anugerah itu.” Jodha terbelalak tak percaya. Jalal tertawa dan meralat kata-katanya, “aku tak ingin kau merasa malu mengatakan padaku kalau kau sudah siap, ratu Jodha. Karena itu aku yang ambil inisiatif dan menanyakananya padamu, dan kau hanya perlu menjawab iya.” Dalam hati, jodha berkata, “aku tak tahu kapan aku siap, yang mulia. Tapi kalau kau memaksaku, mungkin aku akan siap saat ini juga…” Tapi Jodha tahu, Jalal tak akan pernah memaksanya.  Jalal lebih memilih melampiaskan hasratnya pada istrinya yang lain daripada memaksa Jodha. Jodha mengetahui itu dari Ruq. Ketika Ruq setengah pamer dan menghina mengunjunginya pagi-pagi sekali hanya untuk mengatakan kalau Jalal menghabiskan malam bersamanya daripada dengan Jodha, meskipun sepanjang sore mereka bersama. Ruq menduga kalau Jalal tidak mau menyentuh Jodha bukan sebaliknya. Saat itu, Jodha belum sepenuhnya mencintai Jalal. Jadi dia tidak cemburu.

Tapi sekrang, ketika dia sangat mencintai Jalal dan ingin bersamanya, kenangan itu selalu membayanginya. Setiap Jalal menyentuhnya, Jodha bertanya-tanya dalam hati, apakah seperti itu juga Jalal menyentuh istrinya lain. Saat jalal mencium dirinya, Jodha membayangkan Jalal sedang mencium ratu Ruqaiya.  Dan ketika Jodha mendiskusikan pikiran-pikirannya itu dengan Salima begum, Salima dengan prihatin berkata, “semua wanita yang di madu, pasti pernah mempunyai pikiran itu. Yang harus kau lakukan adalah berhenti memikirkannya. Dan fokus pada suamimu saja. Bayangakan kalau dia adalah seseorang yang paling kau cintai dan mencintaimu, dan orang lain tidak penting. Buat dirimu sendiri terlena sehingga yang muncul adalah perasaan dan bukan pikiran. Karena apapun, Ratu Jodha, perasaan biasanya selalu bisa mengalahkan pikiran.”

Tapi Jodha merasa, pikirannya terlalu kuat untuk di kalahkan. Tak perduli apakah ketika ia sedang membenci, mencinta ataupun cemburu, Jodha selalu bisa berpikiran jernih dan tak pernah kehilangan akal sehatnya. Emosinya selalu terkontrol rapi. Tapi Jodha bertekad akan mencobanya apapun caranya agar bisa terbebas dari pikiran-pikiran itu dan bisa bersama Jalal….  Malam Pertama: Arti Mencinta! bag 2